Selasa, 29 Desember 2015

Kita Sama

Nama saya Fajar Christian, saya lahir pada 6 November 1988, dan saya tinggal di Solo.

Saya akan bercerita tentang bagian kehidupan yang akan terus melekat dan akan terus menjadi kisah bagi saya. Tentang sebuah perjuangan kehidupan….

Saya lahir dalam kondisi keluarga yang biasa saja, jika boleh memilih kata yang lain akan saya katakana jika keluarga saya berada pada garis kemiskinan. Saya anak bungsu dari 6 saudara yang lain. Ketika itu Ayah saya hanya menjadi pelukis tradisional sedang Ibu saya hanya menjdai seorang penjahit dan kami tinggal pada sepetak rumah kontrakan kecil. Cukup menyedihkan? Tidak sama sekali

Saya terlahir dalam kondisi cacat fisik, kaki saya tidak berfungsi sebagaimana seharusnya. Keadaan yang semasa kecil tidak pernah benar-benar bisa saya mengerti. Keadaan yang membuat saya merasa berbeda dengan teman sebaya saya waktu itu. Saat yang lain sudah bisa berlari, saya masih harus belajar berjalan dengan kedua orang tua dan kakak-kakak saya. Saat yang lain sudah mulai begitu ceria mengendarai sepeda utnuk pertama kalinya, saya hanya bisa melihat dibalik jendela dan sesekali merasa iri mengapa saya tidak bisa seperti mereka. Keadaan yang sering membuat saya terpuruk sendiri di masa kecil saya.

Saya beruntung memiliki sosok ibu yang begitu luar biasa mencintai saya, ditengah semua beban kehidupan yang harus beliau usahakan, saya masih bisa merasakan cinta yang begitu penuh dari beliau. Fajar kecil begitu dimanja dan dijaga oleh ibu yang hebat.
Masa sekolah menjadi bagian waktu yang berbeda rasa dalam tiap kejadian yang saya alami. Masa saya berada di Sekolah Dasar terasa sangat berat, saya yang biasanya tidak pernah lepas dari pengawasan orang tua (terutama ibu) harus mulai belajar mandiri. 6 Tahun yang saya alamai di SD? Saya tidak bisa mengingat semua detail kejadian, tapi ada beberapa hal yang sampai sekarang masih saya ingat dan saya fikir akan terus saya bawa.

Seperti anak SD pada umumnya, seharusnya kami memiliki masa bermain dan belajar yang menyenangkan dengan teman sebaya, tapi apa saya mendapatkan itu? Tidak. Saya merasa begitu tersudut dengan ejekan dari teman-teman saat itu, tentu karena cacat fisik yang saya miliki. Saya masih ingat ketika saya sampai menangis karena diejek seperti itu, saya masih ingat ketika beberapa guru memarahi teman yang mengejek saya dan berusa menenangkan saya. Terasa begitu sakit dan membuat saya marah. Hal yang tidak jauh berbeda juga saya alami ketika berada di bangku SMP. Fajar saat itu adalah Fajar yang cengeng dan begitu sensitive, terlebih menjadi Fajar yang penyendiri dan tidak bisa berkembang. Tidak memiliki banyak teman dan lebih suka menghabiskan waktu dengan buku pelajaran dan beberapa buku komik Doraemon waktu itu.

Seiring dewasa tidak banyak tekanan dari luar yang saya terima, mungkin karena semakin dewasa juga teman-teman seiring pertambahan usia sehingga cacat fisik tidak dijadikan sebagai olokan bagi saya seperti di SD atau SMP.
Tapi justru di masa SMA ini terjadi peristiwa yang begitu memojokkan saya. Saya yang terlahir dlam kondisi cacat, saya yang tidak sampai usia SMA tidak bisa naik sepada, saya yang masih belum bisa benar-benar bangkit. Pada awal 2005 atau kelas 1 SMA semester 2, hal yang tidak pernah saya duga terjadi, saya nyaris lumpuh total. Begitu gelap dan menyakitkan ketika saya harus mengingat dan kembali ke masa itu. Secara medis, ini terjadi karena ada kerusakan di tulang belakang. Keluarga sudah mengupayakan dengan maksimal, mulai dari medis modern hingga pengobatan tradisional, smua nihil. Saya begitu terpukul, saya begitu tersakiti dengan keadaan tersebut. Saya begitu marah kepada Tuhan dengan semua, saya menggugat Tuhan dengan bertanya apakah cacat saya selama ini belum cukup membuat saya menderita dan mengapa saya harus sampai tidak bisa berjalan seperti ini. Saat seharusnya saya menikmati masa muda seperti yang lain, saya harus terpuruk lagi. Saya menjadi semakin rapuh. Saya menjadi iri dengan hal-hal yang tidak masuk akal, ketika melihat keluar jendela kelas, saya iri pada teman-teman yang bisa berlari kesana kemari sedang untuk berjalan pun saya tidak bisa.
Tapi saya bersyukur, perjuangan 2 tahun dengan tidak bisa berjalan telah membuat saya saya belajar banyak hal tentang arti kehidupan. Tentang betapa berharganya kehidupan yang sudah Tuhan berikan bagi saya. Tentang arti berjuang sebenarnya, berjuang bukan demi diri saya sendiri tapi juga demi Orang Tua saya.

Sekali lagi, sangat gelap jika saya harus mengingat masa itu, tapi saya bersyukur untuk semua proses yang telah saya alami.

Suka tida suka, para penyandang difabel sering mendapat intimidasi sosial secara otomatis. Sering dipandang sebelah mata, sering dinomor duakan, bahkan sering tidak dianggap. Tapi bukankah seharusnya diskriminasi seperti ini tidak boleh ada?

Saya senang saat ini Solo sudah sangat layak untuk mulai mengupayakan kesetaraan antara warga yang “normal” dengan para kaum “difabel”. Secara sederhana dapat dilihat dari kerja Pemerintah Daerah yang menyediakan fasilitas pendukung bagi kaum difabel, seperti halte, ruang public, atau fasilitas umum lainya. Kantor atau lapangan kerja yang adapun saya yakini sudah tidak lagi diskriminasi, asal sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan, saya percaya para kaum difabel juga memiliki kesempatan bersaing yang sama untuk diterima bekerja.

Mengingat kembali ke masa sekolah saya, saya berharap sekolah saat ini juga mulai memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada seluruh siswa tanpa ada pembeda dengan alasan apapun, guru juga dituntut untuk berlaku adil dengan semua siswanya.

Saat ini saya bekerja sebagai Staff di PPA Berea GKI Sorogenen. Lembaga yang bergerak di bidang sosial dengan membantu anak-anak miskin untuk dapat terus bersekolah. Sedang kesibukan sehari-hari saya aktif sebagai seorang pemain music gereja di GKJ Jebres.

“Kami sama sepertimu, ajak kami berjuang untuk kehidupan yang lebih baik”
“fajar christian”
Read More >>

Senin, 30 Maret 2015

SAYA PENCURI

Tidak seperti biasanya, hari ini saya berangkat ke kantor dengan perasaan yang tidak begitu menyenangkan. Hati saya cukup terganggu pagi ini, terasa sangat enggan untuk ke kantor. Setelah beberapa hari yang lalu Ibu saya harus opname karena Vertigo, hari ini beliau memiliki jadwal kontrol lagi untuk melakukan terapi kerumah sakit. Ada hal yang sangat sulit untuk saya jelaskan, inti yang membuat saya sangat kalut adalah ibu tidak ada yang mengantar untuk kontrol. Saya dan semua sanak tidak bisa mengantar.

Sampai dikantor saya masih tidak nyamand dengan yang terjadi. Saya terus coba kontak rumah untuk memastikan beliau bisa kontrol ke RS tidak sendirian dan ada yang menemani. Beberapa kali telpon saya kepada beliau berakhir pada mail box dari HP jadul beliau. Saya terus mencoba hingga akhirnya beliau menjawab dan memastikan beliau kontrol ke RS ditemani oleh tetangga yang sudah seperti saudara sendiri bagi keluarga kami. Beliau berjalan kaki, dan beliau yakin ini tidak menjadi masalah. Jarak rumah dari RS memang tidak begitu jauh, ditengah kekuatiran saya tidak ada yang bisa saya lakukan selain percaya penuh kepada usaha yang beliau paksakan agar saya yakin. Cepet sembuh simbok (ibug)

Hari ini saya harus belanja perlengkapan untuk kebutuhan Futsal anak-anak PPA. Saya sendiri masih malas membuka tas yang saya bawa, hanya sesekali mengusap layar HP tanpa tahu harus membuka aplikasi apa. Saya menunggu Pak Teguh (tutor Futsal di PPA) yang juga belum nampak. Hingga akhirnya Mb Bekti (Bendahara PPA) mengagetkan saya, “Pak, uangnya tak kasih sekarang ya, soalnya saya mau keluar” saya cuma mengangguk pelan “iya”. Mb Bekti memang harus keluar juga karena harus membeli beberapa keperluan kantor yang harus disegerakan.

Tidak begitu lama lama Pak Teguh datang, kami sempat sebentar mengobrol mengenai kemana kami akan belanja dan apa saja yang akan saya belikan. Kamipun segera berangkat, karena matahari tampak semakin meninggi, panas.

Sepanjang perjalanan kami tidak berbicara banyak. Hanya beberapa kali kami berbicara mengenai kegiatan futsal yang anak anak-anak lakukan di PPA, tentang Barcelona yang menjadi tim favorit beliau sedang saya tentu masih membanggakan Juventus, klub favorit saya yang hari ini jerseynya juga saya kenakan. 

Karena tidak begitu jauh, kamipun sampai di Toko Olahraga yang dimaksud. Parkiran didepan toko masih terlihat sepi, hanya ada 2-3 motor yang terparkir dengan payung kardus bekas diatas jok nya. Kami segera turun dan mulai memasuki toko.

Suasana Toko tersebut terlihat sibuk, banyak pegawai yang lalu lalang sedang hanya ada pembeli yang terlihat disudut toko yang sedari tadi sibuk memilih jaket olahraga. Hari ini kami berencana memenuhi kebutuhan Futsal anak-anak PPA. Kami akan membeli kostum dan sepatu untuk anak-anak PPA yang selama ini selalu berlatih tanpa sepatu. Saya hanya yakin, mungkin ini sakit.

Rencana saya hanya menemani belanja dan jika selesai segera saya bayarkan, saya tidak berminat tanya ini dan tanya itu untuk memilih kostum futsal dan sepatu yang dimaksud. Disudut ruangan, pak Teguh masih sibuk mencari sepatu yang paling pas untuk anak-anak. Dia berbincang dengan pegawai toko yang masih seperti anak-anak, dan saya menebak mungkin baru saja lulus SMA. Saya sendiri hanya berdiri didekat rak sepatu bola lapangan yang tidak begitu ramai, dari situ saya melihat pak Teguh mengangguk-anggukan kepala atas apa yang dikatakan pegawai, saya sendiri tidak tahu pasti yang mereka bicarakan. Sesekali pak Teguh bertanya kepada saya mengenai macam-macam sepatu yang ada “bagus yang mana mas? yang hitam apa yang putih?” saya yang tidak begitu tahu tentang hal ini hanya berusaha menjawab seadanya dengan sedikit tersenyum “bagus yang hitam pak” Pak Teguh masih sibuk nego dengan pegawai toko.

Sedari tadi saya hanya iseng pegang sepatu, melihat-lihat, dan memang tidak berniat sama sekali untuk membeli. Bagus-bagus memang sepatu yang ada, warnanya juga bagus, dalam hati kecil hanya berbisik “ahh, sayang, saya tidak mungkin bermain sepak bola” Pak Teguh memanggil saya dan saya menghampiri beliau yang sudah berpindah disisi toko yang lain “Dibelikan kaos kaki sekalian ya mas? yang warnanya apa ya mas?” sekali lagi saya hanya menjawab seadanya “iya pak sekalian saja, yang warna putih bagus pak, netral, dikasih sepatu warna apa saja pasti cocok” dan pak Teguh maeng iya kan jawaban saya. Akhirnya sudah ada 12 Sepatu dan 12 Kaos kaki yang mantab kami pilih. Sedang Pegawai toko sibuk mencari plastik besar untuk membungkusnya. 

“Sekarang cari kostum mas” saya hanya bergumam “eem” dan kami beranjak keruang sebelah yang masih satu toko. Sejauh mata memandang hanya begitu banyak kaos olahraga yang digantung rapi di tempok ruangan. Warnanya juga bagus-bagus. Diruang ini saya lebih antusias dari pada di ruang sebelah tadi. Saya berjalan sembari sesekali memegang kaos yang ada, memilah mana yang menurut saya bagus. Pak Teguh kemudian mendekati saya dan bertanya mana baju yang cocok untuk anak-anak. Mata saya mulai melirik kiri dan kanan, dan memberikan masukan ke pak Teguh.

Tiba-tiba saya teringat pesan dari Mb Bekti tadi, bahwa setelah melakukan transaksi maka harus minta dibuatkan kwitansi resmi dari toko yang ada meterai dan dibubuhi tanda tangan serta stempel lunas dari Toko. Dan yang jadi masalah, saya lupa dengan yang mb Bekti pesankan kepada saya. Segera saja saya telpon Mb Bekti, berkali-kali dan tidak direspon. “Ahh, pasti masih dijalan”, saya terus mencoba hingga akhirnya di ujung telpon suara mb Bekti menyapa. Suaranya tidak begitu jelas karena riuh suara kendaraan dibelakangnya. Saya bertanya dan mb Bekti menjelaskan kemabali. Saya hanya mengangguk tanda mengerti atas yang dijelaskan

“ini bagus apa tidak mas?” tanya pak Teguh mengagetkan saya sembari menunjukan sepotong kaos olahraga berwarna Biru Langit, “bagus pak” jawab saya. Setelah lama memilah dna memilih akhirnya kami sepakat memilih kaos dengan corak minimalis berwarna “Hijau Muda”. “Wah, keren ya mas”

Setelah semua yang kami cari sudah kami dapatkan, kami disodori nota pembayaran yang harus saya bawa ke kasir untuk mengambil barang yang sudah kami pilih. Disinilah sebenarnya alasan mengapa saya harus menemani pak Teguh belanja. Iya, saya yang membawa uang dari bendahara.

Mb Bekti menitipkan uang yang dimasukan dalam tas kecil lucu dan imut, didalamnya ada juga beberapa lembar materai dan pulpen merah. Beberapa lembar uang biru 50 ribuan sudah ditata rapi dalam tas tersebut. Tiba-tiba saya menjadi “cantik” :)

Setelah petugas kasir mengitung seluruh barang akhirnya muncul nominal akhir dari pembelian. Habisnya lumayan banyak, hampir sekitar 2 juta rupiah. Saya pun duduk dikursi biru yang terlihat sudah rapuh dan seolah saya harus sangat berhati-hati duduk disana. Dari tas kecil itu, saya mengeluarkan sejumlah uang yang harus saya bayarkan. Saya menghitung dengan sangat berhati-hati, setelah itu saya serahkan pada petugas kasir yang selanjutnya menerawangkan uang yang saya berikan pada lampu led berwarna ungu, guna memastikan uang yang saya berikan adalah asli. Dan transaksi sudah saya selesaikan.

Sesuai dengan peraturan yang ada, bahwa pembelian dengan nominal di atas Rp 1.000.000 maka kami harus menyediakan bukti kwitansi bermaterai senilai 6.000. Hal ini sederhana, dan sayapun melakukan demikian.

Saya meminta kepada petugas kasir untuk menuliskan kwitansi yang sudah saya siapkan beserta dengan materai 6.000 yang sudah tertempel rapi di pojok kanan kwitansi. Saya berasumsi tentu yang saya jelaskan sudah cukup bisa dipahami, apalagi ini hanya pengisian kwitansi sederhana. “Namanya siapa mas”? saya singkat menjawab “Fajar mb”, kemudian dia melanjutkan menulis di kwitansi. Saya pun tidak terlalu memperhatikan kelanjutan dari yang petugas kasir tuliskan. Dan setelah membubuhkan tanda tangan dan stempel pada kwitansi, saya kembali disapa. “ini mas sudah”. Saya menerima kwitansi dan saya heran dan terkejut, karena nominal belanja yang saya lakukan tidak ditulis dalam kwitansi tersebut
“lhoh mb, ini nominalnya kok tidak ditulis?” tanya saya heran
“emm, harus ditulis ya mas? biasanya yang lain mereka yang menuliskan sendiri angkanya”

Saya baru sadar saya tengah terjebak pada situasi kecurangan masiv yang sudah sering terjadi disana. Tanpa perlu detail saya jelaskan tentu kita sudah tau apa yang saya alami. Petugas kasir berfikir jika saya hendak bermain dengan nominal rupiah yang ada di kwitansi tersebut. Mungkin dalam benaknya, saya menyodorkan kwitansi bermaterai agar saya bisa melakukan mark-up anggaran, sehingga saya memperoleh keuntungan pribadi.

Apa yang salah? Siapa yang salah? Mengapa ini terjadi?

Saya tidak bisa mengetahui secara detail apa yang sebenarnya terjadi dan saya tidak pernah tahu sejak kapan tradisi ini mulai dihidupi oleh banyak orang. Bagi saya, ini menjadi lahan basah yang sangat kotor. Disini banyak keuntungan pribadi yang dikerjakan namun banyak dosa yang dimaklumkan. Nilai kehidupan seolah ikut bergeser dengan perlahan namun pasti terjadi. Hal baik yang harusnya dilakukan setiap orang pun mulai disingkirkan.

Mungkin bukan hal yang mencengangkan lagi, mendengar kata korupsi bukanlagi menjadi keheranan bagi kita dimasa kini, bahkan masyarakat pinggiran-pun sudah sangat akrab dengan kata ini. Tentu yang saya alami siang ini bukan sebuah kejahatan “kakap” dengan banyak nominal yang dipermainkan, tapi bukanlah itu tetap menjadi sebuah dosa dan kesalahan? 

Hal ini begitu mengusik saya, apakah semua orang sudah kalah dan terjebak dalam lingkaran dosa ini? dan apakah tidak adaorang lagi yang perduli jika ini adalah sebuah kejahatan?

Tentu, saya tidak menganggap diri saya hebat atau suci, tidak sama sekali. Hanya saja saya merasa jika ini adalah sebuah kesalahan yang sangat bertentangan dengan nilai kebenaran yang selama ini saya yakini. 

Keberanian yang saya lakukanuntuk menolak ini tidak akan bisa mengubah kejahatan masiv ini, tidak akan merubah apapun. Tapi yang jelas, saya melakuakan ini karena saya yakin yang saya lakukan adalah hal yang baik dan benar.

“maaf mb, ditulis saja sesuai harganya” jawab saya

Lalu petugas kasir menulis nominal yang sesuai dengan nota asli. Saya memanggil pak Teguh yang masih melihat-lihat sepatu di ruang sebelah dan mengajak beliau pulang ke PPA. Kami melangkah keluar ke parkiran dan disambut oleh tukang parkir yang nampak sudah cukup tua.

“berapa pak?” tanya saya

“1.000 mas” jawab beliau

Sembari saya memberikan 1 lembar uang 2.000 an...

Dalam perjalanan pulang saya menggumam dalam hati “maaf mb, saya bukan pencuri”








Read More >>
Technology Blog